Kamis, 19 September 2019
Kriiing….kriiing, bel berbunyi tanda jam pelajaran
pertama akan segera dimulai. Anak-anak 9B sudah duduk rapi di bangku
masing-masing. Jam pelajaran pertama adalah matematika, Pak Udin berjalan di
koridor sekolah menuju kelas 9B. Siddik berlari terengah-engah menuju ruang
kelas. Nyaris saja ia tidak bisa masuk karena gerbang sudah hampir ditutup.
Yah, seperti biasa ia terlambat lagi karena bangun kesiangan. Ia memasukkan
buku dengan terburu-buru dan segera berlari mengejar bus untuk sampai ke
sekolah. Saat tiba di depan gerbang, Pak Mamat sedang menutup gerbang. Ia
berlari sekuat tenaga, akhirnya ia berhasil masuk sebelum gerbang tertutup.
Pak Udin
masuk ke kelas 9B. Beliau menatap sekeliling dan menyadari ada satu bangku yang
kosong. “Mana Siddik?” tanyanya. “Terlambat lagi kah dia?” lanjut Pak Udin.
Seisi kelas hening, saling tatap dan tak tahu harus berkata apa. Tiba-tiba
Siddik masuk sambil berlari. “Ma…maaf pak, saya terlambat.” ucapnya
terbata-bata. Semua siswa tercengang. Pak Udin adalah guru yang terkenal killer
di sekolah. Siddik pasti tidak diizinkan masuk. “kenapa kamu terlambat?” tanya
Pak Udin garang. “Saya kesiangan pak!” ucap Siddik jujur. “Oh, oke silahkan
kamu berdiri di depan kelas selama jam pelajaran matematika ini!“ kata Pak
Udin. Siddik hanya pasrah melangkah ke depan kelas.
Kriiing….kriiing,
bel tanda jam pelajaran usai pun berbunyi. Pak Udin keluar dari kelas dan
menyuruh Siddik duduk. Siddik melangkah menuju tempat duduk sambil
memukul-mukul pelan kakinya yang terasa pegal setelah berdiri selama jam
pelajaran matematika.
“Nonton bola
lagi lo?” tanya Tarisa.
“Iya dong,
Klub kesayangan gw masuk final masa gw gak nonton.” jawab Siddik sambil nyengir
.
“Huuu pantes
kesiangan. Besok jangan telat lagi kalo gak mau dihukum lagi sama Pak Udin.”
Kata Tarisa sambil meninju pelan lengan Siddik.
“Iya
baweeelll!” jawab Siddik sambil mencubit pipi Tarisa.
Siddik dan
Tarisa sudah bersahabat sejak masuk ke SMP Tunas Mandiri. Tarisa sebenarnya
adalah seorang anak yang cukup pendiam dan tidak memiliki banyak teman. Berbeda
halnya dengan Siddik yang supel dan senang bergaul dengan siapa saja. Sejak
awal semester lalu, Siddik dan Tarisa duduk sebangku dengan Tarisa karena Bu
Dewi, wali kelas mereka mengatur tempat duduk anak-anak kelas 9B. Siddik merasa
senang sebangku dengan Tarisa karena Tarisa adalah juara kelas. Untuk urusan
pelajaran, Siddik selalu mengandalkan Tarisa selain itu, sejak kelas 8 Siddik
sudah menaruh perasaan kepada Tarisa tetapi Tarisa tidak pernah mengetahui dan
menyadari perasaan Siddik karena Siddik memang tidak pernah menunjukkannya di
depan Tarisa. Siddik juga memang selalu baik dan perhatian kepada semua
temannya.
Tak terasa,
sudah hampir 6 bulan mereka sekolah. Tak lama lagi ujian akhir semester 1 akan
dimulai. Semua anak sibuk belajar dan mempersiapkan diri menjelang UAS. Siddik
pun mulai meminjam catatan Tarisa dan mulai serius belajar. Sampai suatu hari,
Batang hidung Siddik belum juga tampak padahal bel masuk telah berbunyi. Tarisa
melirik jam tangannya dan berkali-kali menoleh ke pintu masuk. Namun Siddik
tidak juga datang. Tak terasa 3 hari sudah Siddik tidak masuk sekolah. Kemarin
ibunya datang membawa berita bahwa Siddik sedang dirawat di RS Bintang Harapan.
Ternyata, sudah 3 bulan ini Siddik di diagnosis menderita peyakit leukimia atau
kanker darah. Namun tidak ada seorang teman pun yang mengetahui penyakitnya.
Siddik bersikap seperti biasa seolah tidak ada yang terjadi.
Mendengar
berita itu tiba-tiba hati Tarisa terasa sesak. Ia merasa sangat sedih dan
kehilangan. Ia pun akhirnya menyadari bahwa ia memiliki perasaan kepada Siddik
lebih dari sekedar teman dan sahabat.
Siang itu,
sepulang sekolah Tarisa berkunjung ke RS menjenguk Siddik. Siddik terbaring
lemah dan tak berdaya. Selang oksigen terlihat di hidungnya. Ibunya berkata
sudah 2 hari ini Siddik tidak sadar diri. Bagaikan tersambar petir di siang
bolong, tubuh Tarisa terasa lemas seketika. Tak terasa air mata pun menetes di
pipinya. Ia tak ingin beranjak selangkah pun dari si Siddik. Seperti mendapat
firasat, Tarisa menggenggam erat tangan Siddik. Tiba-tiba denyut jantung Siddik
menurun drastis. Suster dan dokter
berdatangan. Tarisa dan Ibunya disuruh menunggu di luar.
Tarisa
menangis memeluk ibu Siddik. Tak lama kemudian dokter keluar dan mengabarkan
bahwa nyawa Siddik tidak dapat tertolong dan ia pun telah meninggal dunia.
Ibu Siddik
pingsan, Tarisa terduduk lemas mendengar ucapan dokter. Seketika ia
terbayang senyuman dan tingkah Siddik.
Ia menyesal terlambat menyadari perasaannya. Ia selalu berdoa agar jiwa Siddik
tenang di surga.
!doctype>
Popular Posts
-
Ciri – Ciri Cerpen Berikut ini adalah beberapa ciri dari cerpen: Jalan cerita yang dimiliki cerpen cenderung lebih singka...
-
1. Ipconfig sebenarnya fungsi dari Ipconfig ini banyak banget, tapi mayoritas orang menggunakannya untuk melihat ip address, Gateway, DNS ...
-
Minggu, 22/09/2019 02:10 WIB Ilustrasi bersih-bersih pantai. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) Sekitar 14 ribu orang ikut serta dalam ...
-
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menunda sidang gugatan perdata polusi udara yang diajukan oleh Gerakan Inis...
-
Kriiing….kriiing , bel berbunyi tanda jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Anak-anak 9B sudah duduk rapi di bangku masing-ma...
-
Ilustrasi gempa. (Istockphoto/Petrovich9) Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika ( BMKG ) menyebut gempa dengan magnitu...
-
1. Kedudukan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam tertib hukum nasional Indonesia adalah sebagai? ...
Blogger templates
Blogroll
Blog Archive
Copyright ©
LUTHFI 72 BLOG | Powered by Blogger
Design by Luthfi Flythemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com
0 komentar:
Posting Komentar